ibrahim bin adham adalah tokoh tasawuf yang berasal dari

Namanyadalah Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh Darim keluarga bangsawan Arab. A Latar Belakang Masalah Kaum sufi telah merumuskan teori-teori tentang jalan menuju Allah. Yakni menuju kesuatu tahap ma'rifah (mengenal Allah dengan hati). Jalan ini diawali dengan riyadhah ruhaniyah yang secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan maqam (jamak dari maqamat) dan hal (jamak dari hal) yang berakhir dengan ma'rifah kepada Allah. Segalatindakannya berasal dari dan untuk Tuhan. Dalam bahasa agama disebut tawakkal. Imam Ibrahim bin Adham mendapatkan pelajaran berharga dari hamba sahaya itu. Pengetahuannya tentang menjadi hamba bertambah, bahwa seorang hamba harus menerima apa pun yang ditetapkan tuannya. Berikutini adalah kisahnya. Munajat yang diyakini berasal dari Ibrahim bin Adham yang beredar di kalangan masyarakat Melayu. Sumber: dalam artikel-artikel sebelumnya kami telah menyampaikan kisah Ibrahim bin Adham menurut versi Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya, yang mana berasal dari bahasa Persia. Site De Rencontre Gratuit Sans Abonnement Payant. - Sejarah tasawuf dapat ditelusuri dari awal perkembangan Islam pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, sebagian muslim memutuskan untuk hidup sederhana dan mengabdikan diri sepenuhnya pada Tuhan. Mereka mencari cara untuk mencapai pemahaman spiritual yang lebih dalam untuk mendekatkan diri kepada mengajarkan tentang pentingnya kesederhanaan, kejujuran, dan kebajikan. Beberapa di antaranya, seperti Hasan al-Basri dan Rabiah al-Adawiyah, dikenal sebagai tokoh-tokoh spiritual yang menginspirasi ajaran tasawuf. Pada abad ke-8, para sufi mulai muncul dan mengembangkan ajaran tasawuf secara lebih terstruktur. Mereka takarub mendekatkan diri kepada Allah dengan mengembangkan praktik-praktik spiritual seperti zikir dan puasa untuk membantu para pengikutnya mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam tentang Tuhan. Salah satu tokoh penting dalam sejarah awal tasawuf adalah Abu al-Hasan al-Syadzili, seorang sufi dari Mesir yang hidup pada abad ke-13. Ia dikenal sebagai pendiri Tarekat Syadziliyah, salah satu dari banyak tarekat kelompok sufi yang berkembang di seluruh dunia Islam. Tasawuf berkembang dengan pesat di Iran sejak abad ke-11, banyak tokoh sufi terkenal berasal dari negeri ini, seperti Jalaluddin Rumi dan Hafidz Asy-Syirazi. Tasawuf juga memiliki pengikut yang kuat di Mesir dengan lahirnya beberapa tokoh sufi terkenal seperti Imam Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Selain itu, tasawuf juga menyebar ke banyak negara seperti Pakistan, India, Turki, Indonesia, Malaysia, dan sejumlah negara di Afrika. Di Indonesia, beberapa tokoh tasawuf di antaranya adalah Syekh Syamsuddin As-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, dan Syekh Abdurrauf As-Singkili. Meskipun tasawuf mengalami tantangan dan kontroversi selama sejarahnya, ajaran-ajarannya tetap menjadi bagian integral dari tradisi dan khazanah keilmuan yang terus memengaruhi banyak umat Islam hingga saat Tasawuf Penyebaran tasawuf mula-mula dilakukan para sufi dengan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil di masjid dan di tempat-tempat lain untuk berzikir dan melakukan praktik-praktik spiritual lainnya. Seiring waktu, ajaran ini kian meluas melalui perjalanan para sufi yang bepergian ke luar negeri untuk menyebarluaskan ajaran Islam, atau para pedagang dan musafir yang membawa ajaran tasawuf ke berbagai tempat yang mereka kunjungi. Penyebaran tasawuf terutama terjadi pada abad ke-9 hingga abad ke-12 Masehi, ketika banyak kelompok sufi berkembang dan menyebar di seluruh dunia awalnya, misi penyebaran tasawuf dilakukan secara langsung melalui pertemuan-pertemuan dengan para murid dan penguasa di berbagai daerah. Para sufi datang ke suatu tempat untuk memberikan ceramah, membimbing umat Islam, dan memperkenalkan ajaran tasawuf kepada masyarakat abad ke-11, para sufi mulai membentuk kelompok-kelompok keagamaan yang lebih terstruktur, yang dikenal sebagai tariqah atau tarekat. Kelompok-kelompok ini memiliki aturan dan praktik-praktik yang khusus, dan dipimpin oleh seorang guru atau syekh yang dianggap memiliki pengalaman spiritual dan pengetahuan yang mendalam tentang ajaran tasawuf. Selain itu, penyebaran tasawuf juga terjadi melalui literatur. Banyak karya sastra dan puisi tasawuf yang ditulis oleh para sufi yang berisi ajaran-ajaran tentang kesempurnaan spiritual dan hubungan manusia dengan Tuhan. Karya-karya ini menjadi sumber pengajaran bagi banyak orang dalam mengembangkan pemahaman mereka tentang ajaran tasawuf. Diminati sebagai Gerakan Alternatif Seturut Azyumadi Azra dkk dalam Ensklopedi Tasawuf Jilid I A-H 2008, Islam memiliki dua dimensi, yakni dimensi lahir atau eksoterik yang mencakup syariat, seperti salat, puasa, zakat, dan berhaji. Satu lagi dimensi batin atau esoterik yang mencakup tasawuf. Kedua dimensi ini saling membutuhkan dan saling melengkapi. Tasawuf dianggap sebagai gerakan alternatif karena ajaran-ajarannya menekankan pada pengalaman spiritual individu terkait pengalaman langsung hubungan seseorang dengan itu, tasawuf juga mengajarkan pada kesederhanaan serta keterlibatan dalam bermasyarakat. Para sufi mengajarkan nilai-nilai seperti kebaikan, kasih sayang, dan toleransi, yang merupakan prinsip-prinsip yang sangat penting dalam agama Islam. Tasawuf juga menolak materialisme dan lebih fokus pada nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Namun, seiring waktu, tasawuf juga mengalami perkembangan dan masuk ke dalam struktur keagamaan formal. Di beberapa negara, tasawuf terintegrasi dengan politik dan kekuasaan, yang menyebabkan pengaruhnya menjadi berbeda-beda di berbagai wilayah. Misalnya di Iran, sebagaimana ditulis Seyyed Hossein Nasr dalam Living Sufism 1970, persinggungan syiah dengan tasawuf secara simbolis berakhir setelah masa kepemimpinan Imam Ridha, imam syiah kedelapan. Kemudian ada juga pemikiran yang dilontarkan Muhammad Iqbal 1877-1938, filsuf dan penyair terkenal dari Pakistan. Ia memiliki pandangan yang khas mengenai tasawuf dan peran politik umat Islam. Iqbal percaya bahwa tasawuf adalah gerakan spiritual yang penting dalam Islam, karena tasawuf fokus pada peningkatan kualitas kehidupan spiritual individu dan masyarakat. Iqbal juga menganggap tasawuf sebagai salah satu cara untuk memperbaiki keadaan umat Islam yang seringkali terbelakang dan tertindas. Bagi Iqbal, tasawuf dan politik menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan. Tasawuf memberikan pemahaman tentang esensi agama Islam, sementara politik berperan dalam menjaga kekuatan dan keberlangsungan masyarakat Islam. Dalam konsep teo-demokrasi yang digagasnya, Iqbal menggabungkan unsur-unsur politik dan tasawuf. Ia percaya bahwa demokrasi adalah sistem politik yang paling cocok untuk menjaga nilai-nilai Islam, karena memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Namun demokrasi menurut Iqbal tidak dapat dilaksanakan secara sepihak tanpa mengacu pada nilai-nilai Islam yang mendasar. Oleh karena itu, dalam teo-demokrasi, kekuasaan politik dijalankan oleh para pemimpin yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang ajaran Islam. Tokoh-Tokoh Tasawuf Awal yang Paling Berpengaruh Tokoh-tokoh awal tasawuf memiliki peran penting dalam pengembangan tasawuf sebagai tradisi keilmuan Islam. Mereka membentuk karakteristik khas dari praktik-praktik dan pandangan-pandangan tasawuf yang dikenal sampai saat ini. Hasan Al-Basri 642-728 M, salah satu tokoh awal tasawuf dan dianggap sebagai tokoh sufi pertama. Dikutip dari laman NU Online, dia berguru kepada sahabat nabi, seperti Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan masih banyak lagi. Pemikiran Hasan al-Bashri dalam bidang tasawuf sangat berpengaruh, khususnya dalam hal tawakal, zuhud, dan iktikad. Ia mengajarkan untuk selalu bertawakal kepada Allah dalam segala hal, tidak tergantung kepada dunia atau materi, serta selalu memperbaiki niat dalam segala al-Bashri juga menekankan pentingnya zuhud dan menjaga hati dari cinta kepada dunia, serta menyarankan untuk selalu memperbaiki hubungan dengan Allah dan merenungkan makna-makna kehidupan. Infografik Mozaik Perkembangan Awal Tasawuf. mata para sufi, Hasan Al-Bashri dikenal sebagai salah satu tokoh yang paling menonjol dalam memadukan antara ilmu dan amal, yaitu mengetahui dan mengamalkan agama dengan sebaik-baiknya. Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa amal tidak berarti dan amal tanpa ilmu adalah buta, sehingga penting untuk selalu menggabungkan keseharian, dia juga terkenal dengan sikap rendah hati dan penuh kasih sayang kepada sesama. Ia sering kali memberikan nasihat yang santun dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Kesederhanaan dan keterbukaan hatinya membuat banyak orang terpikat dan merasa nyaman ketika berbicara dengannya. Tokoh lain yang memiliki pengaruh dalam perkembangan awal tasawuf ialah Junaid al-Baghdadi 830-910 M, salah satu tokoh sufi yang membentuk banyak konsep dan praktik tasawuf modern. Ia menekankan pada pentingnya pengetahuan dan kesederhanaan dalam praktik sufi, serta menolak praktik-praktik ekstrem yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selanjutnya ada tokoh sufi fenomenal, yakni Abu Hamid al-Ghazali 1058-1111 M yang menulis banyak karya penting dalam tradisi tasawuf, termasuk karya monumentalnya Ihya Ulumuddin. Karya ini menjadi referensi utama dalam banyak tarekat dan ilmu tasawuf yang diajarkan di sekolah maupun pesantren-pesantren. Tak lengkap juga jika kita membicarakan tasawuf tanpa menyebut Jalaluddin Rumi 1207-1273 M, tokoh sufi sekaligus penyair terbesar dalam sejarah Persia. Dia memimpin sebuah tarekat sufi yang dikenal sebagai Tarekat Maulawi. Beberapa karyanya, terutama Mathnawi, sangat dihormati dan dihargai oleh banyak orang sebagai salah satu warisan sastra terbesar dalam sejarah. - Sosial Budaya Kontributor Ali ZaenalPenulis Ali ZaenalEditor Irfan Teguh Pribadi Ibrahim bin Adham; Sufi Penjaga Kebun Ibrahim bin Adham adalah salah seorang sufi besar generasi awal. Ia merupakan keturunan seorang raja dari Balkh Balkan. Sufyan al-Tsauri dan Buqayyah bin Walid menceritakan bahwa Ibrahim bin Adham berasal dari Balkan lalu ia berpindah ke Syam dengan menanggalkan semua pakaian-pakaian kebesarannya untuk mencari sesuatu yang halal dan menjalani kehidupannya dengan penuh kezuhudan. Ia menetap di sana dengan keadaan sangat fakir. Namun sekalipun fakir ia adalah seorang yang dermawan Muhammad Ibn Hibban, Al-Tsiqah bin Adham memiliki nama lengkap Abu Ishaq al-Balkhi nisbat terhadap kota balkhan. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang tua ibunya Hasan al-Bashri, bayi Ibrahim bin Adham juga oleh ibunya minta didoakan seorang ulama besar agar kelak dewasa menjadi anak yang dawud Sulayman menyatakan bahwa Ibrahim bin Adham meninggal pada tahun 162 H. Ia dimakamkan di pinggir pantai negeri Syam Muhibbudin bin Najjar al-Baghdadi, Al-Mustafad min Dzaily Tarikh al-Baghdad tt .Kisah Ibrahim bin Adham dan Pemilik KebunDikisahkan bahwa Ibrahim bin Adham menjadi penjaga kebun milik seorang wakil kaya. Dia menjaga kebun itu dan memperbanyak shalat. Suatu ketika pemilik kebun itu mendatangi dan meminta buah delima kepadanya. Ibrahim bin Adham memberikan permintaannya. Delima itu terasa asam sehingga pemilik kebun itu memarahinya, “Apakah engkau tidak dapat membedakan antara buah delima yang manis dan masam?” Syaikh menjawab, “Aku belum merasakannya.” Majikan itu berkata pada Ibrahim bin Adham, “Wahai pendusta, engkau begini dan begini untuk hari ini.” “Aku tidak merasakannya,” jawab Ibrahim kemudian ia “nyelonong” menunaikan shalat. Al-Wakil berkata kepadanya, “Wahai orang riya’, aku tidak melihat orang yang lebih dusta daripada engkau dan tidak ada yang sanagt riya’ dibanding engkau.” Ibrahim menjawab, “Betul majikanku. Itu adalah yang nampak dari dosa-dosaku. Adapun yang tidak terlihat jauh lebih banyak lagi.” Kemudian majikan itu menjauhi hari lain, majikan itu kembali untuk yang kedua kali dan meminta buah delima lagi. Ibrahim mengambilkan yang terbagus sepengetahuannya. Buah delima itu terasa masam, sehingga majikan itu memaki dan membentaknya, serta berkata, “Wahai pendusta, kamu mesti dipecat.” Kemudian dia pergi. Tiba-tiba datang seseorang yang hampir mendekat ajal karena kelaparan. Ibrahim memberinya buah delima dari kebun itu. Majikannya datang ingin memecat penjaga kebunnya dan memberinya upah. Dia membayar upah dan memecat. Ibrahim bin Adham berkata, “Wahai majikanku, hitunglah harga buah-buahan yang kuberikan kepada seseorang yang mendekati ajal untuk menyambung usianya.” Majikan itu bertanya, “Apakah engkau tidak mencuri selain itu?” “Tidak. Seandainya bukan karena khawatir bahwa dia akan mati, aku tidak akan memberinya makan. Karena itu, ambillah sebagian bayaranku ini.” Ibrahim bin Adham memberikan harga yang disetujui oleh majikannya kemudian mengerjakan shalat dan datanglah orang lain yang mengurusi kebunnya. Setelah setahun, majikan itu mendatanginya dan meminta buah delima. Dia diberi buah delima yang paling harum. Dia berkata kepadanya, “Dulu penjaga kebun sebelummu memberikan delima yang masam kepadaku dan mengatakan bahwa dia belum pernah mencicipi buah delima dari kebun ini. Kemudian saat kupecat, dia mengatakan bahwa seseorang yang hampir mati karena lapar telah mendatanginya dan diberinya buah delima. Kemudian dia memberikan sebagian upahnya seharga buah delima itu. Dia senantiasa menunaikan shalat agar aku melihatnya. Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih dusta dan khianat daripadanya.” Penjaga kebun yang baru itu berkata, “Demi Allah wahai majikanku, aku adalah orang yang dulu kelaparan. Dan orang yang tuan ceritakan adalah pemimpin kami. Ibrahim bin Adham yang menjadi raja negeri ini, namun kemudian dia tinggalkan kerajaan itu dan menjadi zuhud.” Pemilik kebun itu mengambil debu dan menaburkannya di atas kepalanya sambil menyesali, “Aduh celaka, celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tidak aku temui.”Sumber BacaanIbnu Hibban, al-TsiqatMuhammad Abu Yusr Abidin, Hikaya as-ShufiyyahMuhibbudin bin Najjar al-Baghdadi, Al-Mustafad min Dzaily Tarikh al-Baghdad tt Ibrahim Ibnu Adham bin Mansur Ibnu Yazid Ibnu Jabir al-Ijli, dilahirkan di Khurasan tahun 112 H/730 M dan meninggal tahun 161 H/778 M di suatu benteng di daerah Romawi. Ia salah seorang tokoh sufi besar yang meninggalkan kehidupan duniawi, dan mengembara tanpa memiliki tempat tinggal yang tetap..Semula, Ibrahim bin Adham adalah seorang raja Balkh yang sangat luas daerah kekuasaannya. Ke manapun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buah tongkat kebesaran emas diusung di depan dan di belakangnya. Pada suatu malam ketika ia tertidur di kamar istananya, langit-langit kamar seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di atas atap. Segera ia naik ke atas dan menemukan seseorang. “Apa yang kau cari di sini?” bentak Ibrahim bin Adham kepada orang itu. “Aku mencari ontaku yang hilang” jawab orang itu. “Apa anda tidak gila mencari onta dalam istanaku?” seru Ibrahim marah. “Ya seperti anda juga mencari Ttuhan di dalam kemewahan istana” jawab orang itu sambil melompat ke bawah dan kemudian tersebut amat membekas dalam diri Ibrahim dan merupakan titik awal dari perubahan pendirian dan kehidupannya. Untuk mencari ketenangan dan jawaban yang memuaskan hati dari peristiwa aneh itu, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan istana. Dengan membawa piring, gelas, selimut dan bantal untuk dirinya sendiri. Ia meninggalkan istana yang gemerlap. Beberapa mil setelah meninggalkan istana, ia melihat seorang laki-laki menimba air dengan susah payah hanya menggunakan telapak tangan. Melihat orang itu, terkesan dalam hatinya, lalu ia segera membuang cangkir yang ada di tangannya. Di tengah-tengah perjalanan ia melihat laki-laki tertidur dengan menggunakan dua tangannya sebagai bantal. Melihat orang itu, segera ia membuang bantalnya. Didalam perjalanan berikutnya, ia melihat seorang laki-laki tanpa selimut sedikitpun, maka ia membuang selimut yang ada padanya. Dengan demikian, ia pergi tanpa membawa persiapan harta sedikitpun. Ia berkelana dari satu negeri ke negeri yang lain, mencari ilmu dan meraih hikmah untuk suatu tujuan utama yaitu menemukan kebenaran yang sejati dalam rangka menuju Tuhan. Ibrahim bin Adham pernah belajar kepada Imam Abu Hanifah dan sejumlah tokoh sufi di masanya, antara lain Abu Yazid al-Busthami. Selain itu, ia hidup dan pernah bertemu dengan banyak tokoh sufi di zamannya seperti Fudhail bin Iyadh, dan Sofyan ats-Tsauri. Perjalanan dan kajian-kajian tasawufnya ia lakukan dengan intens sampai ia bertemu dengan nabi Allah, Khidir AS..Tasawuf Ibrahim bin Adham dimulai dari berbagai pertanyaan yang bersumber dari al-Quran sendiri, sebagaimana yang tampak dalam surat al-Mukminun ayat 115 “apakah engkau kira bahwa kamu, Kami jadikan percuma ? dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami ?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini berlanjut dengan pertanyaan lain yang mendasar tentang makna dan hakikat hidup dan kehidupan. Jawaban-jawaban atas pertanyaan itu ditemukannya dalam perjalanan panjang dan mujahadahnya yang intensif, hingga dengan tenang ia meninggalkan jabatan dan istana yang gemerlap sampai beroleh ridha yang Ibrahim bin Adam, tasawuf adalah keindahan dan kebesaran menuju kepada Kebebasan Sejati. Karena itu tasawuf bukan suatu sistem yang keras dan kaku, bukan menekan diri dan perasaan, bukan membawa hidup susah dan bukan meninggalkan fitrah. Akan tetapi, tasawuf adalah membawa manusia kepada pilihan-pilihan yang benar, hidup zuhud, berlaku adil dan penuh keutamaan dalam kehidupan yang menanjak menuju kepada kesucian diri. Dengan pilihan itulah kita meninggalkan dunia hingga kita menjadi bin Adam tidak meninggalkan suatu karya. Meskipun demikian, ia tetap berpesan agar jangan berharap untuk menemukan hikmah tanpa hidup dalam taqwa, karena hikmah mamancar dari kebersihan dan ketaqwaan. “Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?” JERNIH— Abu Ishaq Ibrahim bin Adham lahir di Balkh dari keluarga bangsawan. Ibrahim adalah penerus keluarga tersebut, dan sempat mengenyam kekuasaan dan aneka kenikmatan dunia, sebelum kemudian ia bertobat dengan pertobatan yang total. Ibrajim kemudian memasuki dunia tasawuf dan menjadi seorang sufi terkemuka. Banyak cerita tentang dan dari Ibrahim bin Adham. Beberapa di antaranya kami tulis ulang di bawah ini. Suatu hari ada yang bertanya kepada Ibrahim bin Adham,” Apa yang terjadi kepadamu sehingga engkau meninggalkan kerajaanmu?” “Suatu hari aku duduk di singgasanaku,” jawab Ibrahim. “Ada cermin yang didirikan di hadapanku; aku menatap cermin itu dan melihat bahwa aku tinggal di dalam makam, tanpa seorang pun yang aku kenal. Aku melihat perjalanan panjang di hadapanku, dan aku tak sedikit pun memiliki perbekalan. Aku melihat hakim yang adil, tetapi aku tak memiliki hujjah dan pembelaan. Aku mulai muak dengan statusku sebagai raja.” “Mengapa engkau melarikan diri dari Khurasan?” tanya mereka. “Di sana banyak kudengar tentang sosok sahabat sejati,” jawab Ibrahim. “Mengapa engkau tak emngambil seorang istri?”tanya mereka. “Apakah ada perempuan yang mau menerima suami yang terus membuatnya lapar dan telanjang?” “Tidak,” jawab mereka. “Itulah sebabnya aku tidak menikah,” kata Ibrahim. “Perempuan yang kunikahi akan terus lapar dan telanjang tanpa pakaian. Seandainya bisa, aku akan menceraikan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku membebani orang lain?” Ibrahim berpaling kepada seorang pengemis yang ada saat itu, dan bertanya,” Apakah Engkau memiliki istri?” “Tidak,” jawab pengemis. “Punya anak?” “Tidak,” kembali dijawab pengemis. “Bagus…bagus,” kata Ibrahim. “Mengapa engkau menanyakannya?”tanya pengemis. “Pengemis yang menikah menaiki sebuah kapal. Ketika lahir anak, ia tenggelam.” *** Suatu hari Ibrahim melihat seorang pengemis meratapi nasibnya. “Kuduga engkau membeli kemelaratanmu dengan gratis,” komentar Ibrahim melihat hal itu. “Wah,” si pengemis takjub. “Apakah kemelaratan bisa dibeli?” “Tentu saja,” jawab Ibrahim. “Aku membelinya dengan kerajaan Balkh, dan aku dapat potongan harga.” *** Di dalam kitab “Hilyat al-Auliya” karya Abu Nu’aim, Said bin Harb bercerita, “Suatu ketika, Ibrahim bin Adham tiba di Makkah dan bertamu kepada Ali Abdul Aziz bin Abi Rawad. Syekh Ibrahim membawa kantong yang terbuat dari kulit Biyawak. Kantong itu ia gantungkan di sebuah gantungan. Lalu ia pergi untuk thawaf.” Pada saat bersamaan, Sufyan al-Tsauri, salah satu ulama perawi hadis juga sedang bertamu ke rumah Abdul Aziz. Syekh Sufyan melihat kantong milik Ibrahim bin Adham dengan pandangan heran. Ia bertanya kepada Abdul Aziz, “Kantong ini milik siapa?” “Kantong itu milik salah satu sahabatmu. Ibrahim bin Adham, Syekh.” Syekh Sufyan mendekati kantong lalu memegangnya. Ia penasaran dengan isinya. Ia terus melihat kantong itu dengan seksama lalu berkata, “Agaknya dalam kantong ini ada buah-buahan yang dibawa Ibrahim dari Syiria.” pikirnya. Syekh Sufyan bertambah penasaran dengan isi kantong itu. Dia pun menurunkan kantong dan membukanya. Ketika dibuka, dia kaget dan heran. Bagaimana tidak? Kantong yang dikiranya berisi buah-buahan itu ternyata isinya hanya tanah. Ya. Tanah. Entah untuk apa tanah itu. Maka Syekh Sufyan pun buru-buru menutup kantong lalu menggantungkannya lagi di tempat semula. Ketika Ibrahim bin Adham selesai thawaf dan kembali ke penginapan, Abdul Aziz menceritakan perbuatan Sufyan kepada Ibrahim. “Tadi temanmu, Syekh Sufyan ke sini. Dia penasaran pada isi kantongmu. Dia mengintip apa isi di dalamnya. Dia melihat isinya hanya tanah. Apa benar demikian, Syekh?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Begitulah adanya.” “Untuk apa, Syekh?” Abdul Aziz ikut penasaran. “Itu adalah makananku sejak sebulan lalu.” Jawab Ibrahim. Abdul Aziz pun diam tak lagi bertanya. Di dalam riwayat lain, Abu Muawiyah al-Aswad bercerita, “Aku pernah melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah selama 20 hari. Setelah itu, Ibrahim berkata kepadaku “Wahai Muawiyah, seandainya aku tidak takut jiwaku diketahui orang-orang, tentu aku hanya akan makan tanah sampai tutup usia ketika aku menemui Allah. Sehingga rezeki halal bagiku benar-benar bersih. Dari mana pun asalnya.” Ibrahim bin Adham makan tanah bukan berarti dia tak mampu mencari makanan lain yang lebih lezat. Dia tokoh yang ternama di zamannya. Dia bisa mendapatkan makanan yang lezat. Tapi mengapa Ibrahim sampai makan tanah? Di dalam kitab Hilyat al-Auliya disebutkan alasannya. Dia berbuat seperti itu semata-mata agar apa yang dimakannya benar-benar dari sesuatu yang halal. Sebab dalam ajaran Islam, setiap makanan yang mengandung unsur haram kelak bisa menyalakan api di dalam neraka. Api itu akan membakar orang yang makan barang haram. *** Selepas menunaikan ibadah haji, Ibrahim ingin melanjutkan perjalanannya ke Masjid al-Aqsha. Ketika di sebuah perjalanan ke Yerussalem, ia mampir ke pasar dekat Masjidil Haram untuk membeli kurma pada seorang pedagang tua untuk bekal di perjalanan. Kurma yang selesai ditimbang lalu dimasukkan di keranjang Ibrahim. Setelah dirasa semua kurma sudah masuk di keranjang, Ibrahim melihat satu kurma tercecer persis di bawah timbangan. Ia mengira satu biji itu bagian dari kurma yang ia beli. Segera ia pungut dan memakannya. Setelah melahap ia berangkat menuju Masjid al Aqsha. Selang empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjid Al Aqsha. Ia memilih ruangan di bawah Kubah Sakhra sebagai tempat favorit beribadah. Ia salat, mendaras Alquran, bermunajat dengan khusyuk. Di sela-sela ketika ia beribadah, telinganya menangkap suara dua malaikat bercakap tentang dirinya. “Itu dia Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah, zuhud, dan wara yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah Swt,” ujar satu malaikat. “Tetapi sekarang tidak. Doanya tertolak. Sebab empat bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma di meja seorang pedagang tua yang bukan haknya,” jawab malaikat yang lain. Mendengar bisikan itu, seketika Ibrahim terkejut dan terhenyak. Ia teringat empat bulan yang lalu sebelum berangkat menuju Yerussalem, ia mampir membeli sekilo kurma di pasar dekat Masjidil Haram. Merasa ada yang janggal di hati dan pikirannya, ia bangkit mengemasi barang-barangnya dan pergi kembali ke Mekah untuk mencari pedagang kurma dan meminta keikhlasan sebutir kurma. Sesampainya di Mekah, di tempat pedagang tua berjualan dulu, yang ditemui bukanlah orang tua yang dulu berjualan, melainkan seorang pemuda belia. Ibrahim yang sedang mengalami kemelut di hati itu pun bertanya. “Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini kepada seorang pedagang tua. Sekarang di mana dia?” “Itu Bapak saya, Syeikh. Dia meninggal sebulan yang lalu,”kata pemuda tersebut. “Innalillahi Wainna ilaihi rooji’uun, saya turut berduka cita atas kematian Bapakmu wahai pemuda. Kalau begitu kepada siapa saya bisa meminta penghalalan?” Ibrahim kemudian menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Sedang anak muda mendengarkan dengan seksama. “Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?” kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita. “Bagi saya tidak masalah. Saya halalkan. Tapi saya masih memiliki saudara yang jumlahnya 11 orang yang mempunyai hak waris sama dengan saya,”ujar pemuda itu. Ibrahim yang berkeras mendapatkan rido atas sebutir kurma tersebut, meminta alamat masing-masing saudaranya. “Di mana alamat-alamat saudaramu, biar saya temui mereka satu persatu?”kata Ibrahim. Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham kemudian pergi menemui mereka. Masing-masing didatangi, mengetuk pintu, dan ditemui tepat di depan rumah. Setelah seluruh keluarga itu telah menghalalkan sebutir kurma, Ibrahim pun lega. Dirasa semua permasalahan telah terselesaikan, Ibrahim kembali ke Masjid al Aqsha. Ia kembali menempuh empat bulan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha. Sesampainya di sana, seperti biasa, ia memilih Kubah Sakhra sebagai tempat beribadah. Ia kembali bertakarub kepada Allah, dengan ritual salat, zikir, dan munajat. Tidak menunggu lama, di sela-sela ia berdoa, tetiba Ibrahim mendengar dua malaikat yang dulu sedang berdebat. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain,” kata seorang malaikat. “Oh tidak, sekarang doanya sudah kembali makbul. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas,”kata malaikat yang satunya lagi. [dsy] Dari “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar, Penerbit Zaman, 2018 Ibrahim bin Adham dikenal sebagai sosok sufi yang zuhud — Nama Syekh Ibrahim bin Adham sangat tersohor. Bagi para ahli tasawuf Abad Pertengahan hingga kontemporer, Syekh Ibrahim bin Adham bagaikan mata air. Ia termasuk yang paling awal mengamal kan dan mengajarkan laku sufi di tengah masyarakat. Di samping itu, konsistensinya dalam zuhud menjadi ciri khas tasawuf yang datang sesudahnya. Syekh Ibrahim bin Adham 718-782merupakan seorang sufi yang berpengaruh besar dalam sejarah Islam. Tokoh yang berdarah Arab itu lahir di Khurasan, tepatnya Kota Balkh, kini bagian dari Afghanistan. Keluarganya menetap di wilayah tersebut setelah bermigrasi dari Kufah, Irak. Ada banyak kitab yang memuat kisah-kisah tentang Syekh Ibrahim bin Adham 718-782. Menurut N Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis of South Asia 1999, kebanyakan narasi itu tidak hanya tersebar di kawasan Arab atau Persia. Lebih lanjut, kaum Muslimin di India dan Indonesia pun menerima teks-teks tersebut. Hanif mengatakan, beberapa daerah kultural di Nusantara menjadi tempat persebaran cerita mengenai sang mursyid. Di antaranya ialah Sunda, Jawa, dan sambungnya, masyarakat masing-masing lokasi itu didu ga mendapatkan narasi tentang Syekh Ibrahim dari orang-orang Persia, bu kan Arab. Dan, kandungan kisahnya pun lebih banyak dibumbui hal-hal yang berbau rekaan. Salah satu manuskrip yang mengisahkan tentang tokoh ini ialah Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham. Laman Perpustakaan Nasional RI mengungkapkan, kandungan naskah tersebut menceritakan sosok Sultan Ibrahim bin Adham, yakni seorang raja Irak yang rela melepaskan takhta kerajaan karena ingin menjalankan ibadah kepada Tuhan secara khusyuk. Teks hikayat ini dibuka dengan perkataan sebagai berikut. "Ini suatu hikayat ada seorang raja dari negeri Irak bernama Sultan Ibrahim bin Adham, wali Allah. Adapun terlalu besar kerajaannya baginda itu. Sahdan baginda itu sangat pertapa lagi masyhur serta dengan adil pemerintahnya lagi amat mengasih pada segala wazirnya dan hulubalangnya, dan kepada rakyatnya hina dena dan terlalu amat mengasih kepada segala ulama dan fakir dan miskin." Secara keseluruhan, hikayat yang bertuliskan Arab-Melayu tersebut memuat moral dalam dua aspek sekaligus, yakni hubungan vertikal antara hamba dan Allah serta relasi horizontal antarsesama manusia. Aspek pertama meliputi persoalan-persoalan takwa dan mendahulukan perintah Allah, zuhud, ridha, serta pertobatan. Termasuk di dalamnya, kisah tentang perjuangan sang syekh untuk menghalalkan kurma yang terlanjur dimakannya. Adapun aspek kedua bertalian dengan sikap amanah dan pemimpin yang baik. Menurut Danang Susena dalam Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham Suntingan Teks dan Kajian Semiotika2015, kehidupan spiritual Syekh Ibrahim interteks dengan keyakinan yang disebarkan oleh Syekh Hasan al-Bashri 642-728. Kedua tokoh itu sama-sama generasi prinsip mereka diikuti pula antara lain oleh Imam Ghazali 1058- 1111. Dan, sampai kini keyakinan itu masih hidup. sumber Harian Republika

ibrahim bin adham adalah tokoh tasawuf yang berasal dari